Rumah Adat Bali | Gapura Candi Bentar
Provinsi Bali terdiri dari kumpulan beberapa pulau dimana pulau yang paling besar adalah Pulau Bali dan beberapa pulau yang lebih kecil, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota Provinsi Bali adalah kota Denpasar. Provinsi Bali berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur pada bagian barat, pada bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, pada bagian Utara berbatasan dengan Laut Bali, sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gapura Candi Bentar
Rumah adat Bali identik dengan sebutan Gapura Candi Bentar. Gapura Candi Bentar terdiri dari dua bangunan candi yang memiliki bentuk identik dan diletakkan sejajar sebagai gerbang utama untuk masuk menuju halaman area rumah atau pintu gerbang terluar, biasanya merupakan pintu masuk utama suatu Pura atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Walaupun memiliki bentuk yang identik dengan posisi yang sejajar, gapura ini diletakkan terpisah satu dengan lainnya tanpa penutup pada bagian atap persis seperti satu bagian menghadap cermin dan membuat bangunan menjadi identik. Meskipun tidak memiliki atap, namun gapura ini masih terhubung satu sama lain dengan adanya pagar besi dan sejumlah anak tangga pada bagian bawah. Selain candi, di sekitar gapura biasanya terdapat berbagai patung sebagai lambang dari adat budaya Bali. Bangunan ini juga memiliki julukan gerbang terbelah, karena bentuk bangunannya seolah menggambarkan satu bangunan candi yang dibelah menjadi dua.
Rumah Hunian Bali
Walaupun Gapura Candi Bentar menjadi ikon utama rumah adat provinsi Bali, namun ternyata rumah adat bali yang sebenarnya adalah sebuah bangunan yang memiliki bentuk segiempat dimana di dalamnya terdapat beberapa macam bangunan yang memiliki fungsi tersendiri. Seluruh bangunan tersebut di kelilingi oleh tembok atau pagar pemisah dari lingkungan luar atau disebut Panyengker karang/ tembok batas rumah.Selain Negara China yang terkenal dengan aturan Feng Shui dalam mengatur tata letak rumah, rumah adat Bali pun memiliki aturan tersendiri mengenai tata cara, tata letak, dan tata bangunan rumah untuk ditempati serta bangunan suci yang ada di Bali, dengan bermacam syarat dan aturan yang berasal dari kitab suci Weda. Aturan tersebut disebut Asta Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali merupakan tata cara penempatan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. berdasarkan oleh anatomi tubuh pemilik rumah. Uniknya, patokan pengukurannya berdasarkan ukuran dari tubuh pemilik rumah agar ukuran rumah sesuai dengan pemilik rumah. Satuan ukurannya bukan dalam meter melainkan Amusti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas), Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka), Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan) dan beberapa satuan ukuran lain.
Filosofi yang terdapat dalam Asta Kosala Kosali yaitu terbangunnya keselarasan dan kedinamisan dalam hidup bila tercapai suatu hubungan yang damai dan harmonis antara tiga aspek atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Aspek yang mencakup Tri Hita Kirana yaitu pawongan (manusia atau pemilik rumah), palemahan (lokasi atau lingkungan dimana rumah itu dibangun) dan parahyangan (spiritual). Filosofi ini menggambarkan terbentuknya hubungan yang bersinergis antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Asta Kosala Kosali pun menjadi patokan utama sudut dan arah bangunan di dalam rumah adat Bali. Sudut utara-timur adalah area suci atau area baik sehingga pura diletakkan pada sudut ini, sedangkan sudut selatan-barat dianggap lebih rendah atau area buruk sehingga posisi dapur diletakkan pada sudut ini.
Selain tata letak, konstruksi bangunan pada rumah adat Bali juga berdasarkan konsep agama Hindu yang dinamakan Tri Angga. Tri Angga merupakan konsep hierarki atau tingkatan yang terdiri dari Nista, Madya dan Utama. Nista merefleksikan hierarki terendah suatu tingkatan yang diperlihatkan melalui pondasi bangunan atau dasar bangunan sebagai penopang bangunan diatasnya. Materialnya terbuat dari batu bata atau batu gunung yang disusun dengan rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibangun. Nista juga merefleksikan alam bawah, alam setan atau nafsu. Madya merefleksikan bagian tengah bangunan yang diperlihatkan dalam bentuk dinding, jendela dan pintu. Madya juga merefleksikan strata manusia atau alam manusia. Sedangkan Utama merefleksikan symbol dari bangunan bagian atas yang diperlihatkan dalam bentuk atap rumah. Mereka meyakini bahwa bagian atas merupakan tempat paling suci dalam rumah dan digambarkan sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah berpulang. Material yang dipakai pada rumah adat Bali adalah atap ijuk dan alang-alang.
Susunan halaman rumah pun mengikuti konsep Tri Angga, yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Nista Mandala yaitu bagian belakang halaman dikhususkan untuk palemahan, Madya Mandala yaitu bagian tengah yang dikhususkan untuk pawongan atau penguni rumah dan Utama Mandala yaitu bagian depan yang dikhususkan untuk tempat suci atau parahyangan.
Arsitek atau perancang dari rumah adat Bali disebut dengan Undagi. Dalam proses pembuatannya para Undagi berpedoman pada Asta Kosala Kosali sehingga terbangunlah beberapa bangunan dalam rumah adat Bali sebagai berikut.
Bila ditinjau dari sisi geografisnya, rumah adat yang terletak di dataran rendah memiliki perbedaan dengan rumah adat yang terletak di dataran tinggi. Sembilan bangunan yang sudah dijelaskan di atas merupakan rumah adat yang terletak di dataran rendah. Dataran rendah identik dengan hawa yang lebih panas sehingga bangunannya memiliki beberapa ciri khas yaitu, terdiri dari banyak ruang terbuka, memiliki atap yang tinggi, dan juga halaman yang luas. Sedangkan untuk rumah adat yang terletak di dataran tinggi atau pegunungan sangat minimalis dengan hanya memiliki tiga bagian bangunan yaitu, sanggah atau pura sebagai tempat suci, bale meten sebagai hunian dan terakhir bale delod. Karena letaknya di daerah yang dingin, umumnya rumahnya memiliki atap rendah sehingga ventilasi lebih sedikit agar suhu dalam rumah tetap hangat.
Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Proses pembangunan dimulai dengan proses mengukur tanah yang disebut dengan “nyikut karang”. Lalu dilanjutkan dengan caru pengerukan karang, yaitu ritual persembahan kurban dan meminta izin untuk membangun rumah. Setelah itu dilakukan nasarin dan prayascita. Nasarin adalah upacara ritual peletakan batu pertama yang bertujuan untuk meminta kekuatan agar bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh, sedangkan prayascita adalah upacara yang dilakukan oleh pekerja atau tukang agar selalu dibimbing dan diselamatkan selama bekerja. Pembangunan kemudian dilakukan setelah seluruh ritual sudah dilakukan.
Secara umum rumah adat Bali memiliki warna yang natural dan menyejukkan. Dengan dominasi coklat, krem dan merah bata sehingga memberikan kesan alami dan tidak mencolok. Material bangunan yang digunakan bervariasi tergantung dari kondisi ekonomi pemilik hunian. Untuk masyarakat biasa, dinding rumah biasanya dibangun menggunakan speci yang terbuat dari lumpur tanah liat, sedangkan untuk masyarakat yang lebih mampu biasanya menggunakan tumpukan bata-bata.
Selain warna, rumah adat Bali identik dengan patung dan ukiran-ukiran. Selain sebagai pemanis ruangan penggunaan patung dan ukiran juga memiliki tujuan lainnya. Seperti pada patung-patung yang menyimbolkan pemujaan mereka terhadap sang pencipta dan juga rasa syukur sedangkan ukiran atau pahatan menggambarkan mahluk hidup di bumi yaitu, manusia, binatang dan tumbuhan.
Selain tata letak, konstruksi bangunan pada rumah adat Bali juga berdasarkan konsep agama Hindu yang dinamakan Tri Angga. Tri Angga merupakan konsep hierarki atau tingkatan yang terdiri dari Nista, Madya dan Utama. Nista merefleksikan hierarki terendah suatu tingkatan yang diperlihatkan melalui pondasi bangunan atau dasar bangunan sebagai penopang bangunan diatasnya. Materialnya terbuat dari batu bata atau batu gunung yang disusun dengan rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibangun. Nista juga merefleksikan alam bawah, alam setan atau nafsu. Madya merefleksikan bagian tengah bangunan yang diperlihatkan dalam bentuk dinding, jendela dan pintu. Madya juga merefleksikan strata manusia atau alam manusia. Sedangkan Utama merefleksikan symbol dari bangunan bagian atas yang diperlihatkan dalam bentuk atap rumah. Mereka meyakini bahwa bagian atas merupakan tempat paling suci dalam rumah dan digambarkan sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah berpulang. Material yang dipakai pada rumah adat Bali adalah atap ijuk dan alang-alang.
Susunan halaman rumah pun mengikuti konsep Tri Angga, yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Nista Mandala yaitu bagian belakang halaman dikhususkan untuk palemahan, Madya Mandala yaitu bagian tengah yang dikhususkan untuk pawongan atau penguni rumah dan Utama Mandala yaitu bagian depan yang dikhususkan untuk tempat suci atau parahyangan.
1. Angkul-angkul
Angkul – angkul merupakan pintu masuk utama dan satu-satunya menuju ke dalam rumah adat Bali. Fungsinya seperti Gerbang Candi Bentar pada Pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Namun tidak seperti Gapura Candi Bentar, angkul – angkul memiliki atap yang menghubungkan kedua sisinya. Atapnya berupa piramida dan terbuat dari rumput kering.2. Aling – aling
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling. Aling – aling berupa tembok sekat yang terbuatdari batu setinggi berkisar 150 cm. Aling - Aling adalah pembatas antara angkul - angkul dengan pekarangan rumah maupun tempat suci. Selain itu aling-aling juga digunakan sebagai pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah harus menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah masuk. Hal ini digunakan untuk menghalangi pandangan ke dalam dari arah luar secara langsung sehingga dapat memberikan privasi kepada pemilik rumah dan juga sebagai penghalang masuknya pengaruh jahat/ buruk. Adanya aling-aling ini meningkatkan sifat ruang positip yang muncul akibat adanya dinding pembatas yang mengelilingi rumah atau disebut penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang yang di dalamnya terdapat aktifitas dan kegiatan manusia. Sedangkan penyengker merupakan batas antara ruang positip dan ruang negatif. Selain tembok sekarang ini banyak yang menggunakan patung sebagai aling-aling.
3. Sanggah atau Pamerajan (Pura Keluarga)
Sanggah atau Pamerajan merupakan tempat suci bagi seluruh penghuni rumah yang terletak di sudut timur laut. Kegiatan sembahyang dan berdoa bagi leluhur dilakukan disini.
4. Bale Meten/Bale Daja
Meten/ Bale Daja merupakan ruang tidur bagi kepala keluarga atau anak gadis. Bale Meten disebut juga Bale Daja karena diletakkan di area utara (kaja). Bale Meten berbentuk persegi panjang dan terdiri dari dua buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang. Bale Meten dapat menggunakan sesaka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Bebaturan atau bagian bawah bale dibangun lebih tinggi dari pekarangan dan menjadi bangunan tertinggi di dalam rumah adat Bali. Selain untuk estetika, hal ini juga dilakukan untuk menghindari terjadinya resapan air tanah.
5. Bale Dauh/ Bale Tiang Sanga
Bale Dauh atau Bale Tiang Sanga atau sering juga dijuluki Bale Loji merupakan tempat menerima tamu dan tempat tidur anak remaja atau anak muda yang terletak dibagian Barat. Bale Dauh terdiri dari satu buah bale dengan posisi dibagian dalam dan berbentuk persegi panjang. Bale Dauh menggunakan sesaka atau tiang yang terbuat dari kayu dan memiliki sebutan yang berbeda tergantung dari jumlah tiang yang dimiliki. Bale yang terdiri dari tiang berjumlah 6 disebut sakenem, bila tiangnya berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya berjumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh menggunakan bebaturan dengan posisi lantai lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.
6. Bale Sakepat
Bale Sakepat merupakan bangunan terbuka dengan jumlah tiang empat yang dipergunakan sebagai paviliun atau kamar tidur anak di Selatan dan juga dimanfaatkan untuk bersantai. Bangunannya minimalis dengan berbentuk segi empat dan atap berbentuk pelana atau limasan.
7. Bale Dangin / Bale Gede
Bale Dangin/ Bale Gede merupakan bangunan yang difungsikan sebagai tempat upacara adat dan juga sebagai tempat beristirahat atau tidur bila tidak sedang digunakan untuk upacara. Bangunan ini terletak di bagian timur atau dangin natah umah. Bangunan ini berbentuk segi empat atau persegi panjang tergantung dari jumlah tiang kayu dan bale. Bale dangin dapat memiliki sesaka/tiang sebanyak enam atau sakenem, delapan atau sakutus/astasari dan sembilan atau sangasari dan terdiri dari satu bale. Sedangkan bale gede memiliki 12 sesaka/tiang dan terdiri dari dua buah bale pada bagian kiri dan kanan. Bebaturan pada Bale Dangin memiliki lantai dengan ketinggian kedua setelah ketinggian Bale Meten.
8. Paon atau Pawaregan
Paon merupakan dapur atau tempat untuk mengolah dan memasak makanan penghuni rumah yang terletak di sisi selatan rumah atau barat daya. Paon terbagi menjadi dua area. Area pertama disebut jalikan, yaitu ruang terbuka untuk memasak yang terdapat pemanggang dengan menggunakan kayu api. Sedangkan area kedua merupakan sebuah ruangan penyimpanan makanan dan alat-alat dapur. Masyarakat Bali mempercayai bahwa dapur merupakan tempat untuk menghilangkan ilmu hitam atau butha kala yang menempel sampai kerumah. Sehingga bila ada anggota keluarga yang baru pulang berpergian sejatinya memasuki dapur terlebih dahulu sebelum memasuki bangunan lainnya.
9. Jineng/Klumpu
Jineng atau Klumpu merupakan lumbung padi atau gudang tempat penyimpanan beras. Jineng terletak di bagian tenggara hunian atau dekat dekat Paon atau dapur. Atap jineng terbuat dari alang-alang dan biasanya jineng terdiri dari dua lantai dimana bagian dipergunakan untuk menyimpan padi kering sedangkan bagian bawah dipasangkan bale untuk menyimpan padi yang belum kering, sehingga memudahkan penghuni untuk menjemur dan mengangkat padi selama beberapa hari hingga padi betul-betul kering. Bentuk bangunannya yang unik banyak menginspirasi banyak orang dan menjadikannya hotel dengan bentuk jineng dengan modifikasi ataupun menjadikannya bale untuk bersantai.
Bila ditinjau dari sisi geografisnya, rumah adat yang terletak di dataran rendah memiliki perbedaan dengan rumah adat yang terletak di dataran tinggi. Sembilan bangunan yang sudah dijelaskan di atas merupakan rumah adat yang terletak di dataran rendah. Dataran rendah identik dengan hawa yang lebih panas sehingga bangunannya memiliki beberapa ciri khas yaitu, terdiri dari banyak ruang terbuka, memiliki atap yang tinggi, dan juga halaman yang luas. Sedangkan untuk rumah adat yang terletak di dataran tinggi atau pegunungan sangat minimalis dengan hanya memiliki tiga bagian bangunan yaitu, sanggah atau pura sebagai tempat suci, bale meten sebagai hunian dan terakhir bale delod. Karena letaknya di daerah yang dingin, umumnya rumahnya memiliki atap rendah sehingga ventilasi lebih sedikit agar suhu dalam rumah tetap hangat.
Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Proses pembangunan dimulai dengan proses mengukur tanah yang disebut dengan “nyikut karang”. Lalu dilanjutkan dengan caru pengerukan karang, yaitu ritual persembahan kurban dan meminta izin untuk membangun rumah. Setelah itu dilakukan nasarin dan prayascita. Nasarin adalah upacara ritual peletakan batu pertama yang bertujuan untuk meminta kekuatan agar bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh, sedangkan prayascita adalah upacara yang dilakukan oleh pekerja atau tukang agar selalu dibimbing dan diselamatkan selama bekerja. Pembangunan kemudian dilakukan setelah seluruh ritual sudah dilakukan.
Secara umum rumah adat Bali memiliki warna yang natural dan menyejukkan. Dengan dominasi coklat, krem dan merah bata sehingga memberikan kesan alami dan tidak mencolok. Material bangunan yang digunakan bervariasi tergantung dari kondisi ekonomi pemilik hunian. Untuk masyarakat biasa, dinding rumah biasanya dibangun menggunakan speci yang terbuat dari lumpur tanah liat, sedangkan untuk masyarakat yang lebih mampu biasanya menggunakan tumpukan bata-bata.
Selain warna, rumah adat Bali identik dengan patung dan ukiran-ukiran. Selain sebagai pemanis ruangan penggunaan patung dan ukiran juga memiliki tujuan lainnya. Seperti pada patung-patung yang menyimbolkan pemujaan mereka terhadap sang pencipta dan juga rasa syukur sedangkan ukiran atau pahatan menggambarkan mahluk hidup di bumi yaitu, manusia, binatang dan tumbuhan.
Baca juga artikel rumah adat jawa tengah rumah joglo
0 Response to "Rumah Adat Bali | Gapura Candi Bentar"
Post a Comment